Judul: “Anapala 1991: Kisah Kelahiran Sang Legenda Pencinta Alam dari Rahim Kegilaan dan Hujan”
MAKASSAR — Jika ada satu kata yang menggambarkan awal mula Anapala, itu adalah “kegilaan”. Bukan kegilaan tanpa arti, melainkan euforia sekelompok anak SMAK di Makassar yang, di tahun 1991, memutuskan bahwa alam adalah ruang kelas terbaik mereka.
Di tengah tren pencinta alam (Pala) yang melanda Indonesia era 90-an—dengan Korpala Unhas dan Mapala Umi sebagai ikon—sekelompok siswa SMAK mulai menorehkan sejarah mereka sendiri. Tanpa dana cukup, tanpa izin, bahkan seringkali tanpa alas kaki yang layak, mereka menciptakan sebuah legenda bernama Anapala (Analis Pencinta Alam).
Awal yang Lucu, Jalan yang Konyol
“Kami waktu itu hanya anak-anak nekat,” kenang salah satu senior Anapala dalam wawancara eksklusif. Perjalanan awal mereka lebih mirip komedi ketimbang ekspedisi serius. Turun di Sungguhminasa dengan uang cuma Rp7.000, tidur di pos hujan-hujanan, sampai meminjam bantal tukang pos—semua dilakukan dengan semangat “yang penting jalan!”.
Hafid, salah satu anggota, bahkan sempat menjadi bahan tertawaan karena memakai celana jeans ketat saat pendakian. “Kakinya sampai merah semua, tapi dia tetap jalan!” kisah seorang rekan.
Dari “Panas-panas” Jadi Organisasi
Awalnya, Anapala hanya sekumpulan anak yang “panas-panas”—istilah mereka untuk menggambarkan semangat yang menggebu namun belum terarah. Namun, di kelas tiga, semuanya berubah.
Tanpa rapat formal atau pemilihan ketua, mereka sepakat mendirikan Anapala. Ismail, si “bad boy” berhati besar, menjadi motor penggerak. Ical merancang logo Pandawa Alam yang ikonik.
Pelantikan pun dilakukan ala kadarnya: subuh-subuh di Lembana, dengan ritual melawan arus air terjun. Bahkan, ada momen mistis ketika seorang anggota kesurupan dan nyaris tertabrak mobil. “Dia menahan mobil dengan tangan, kami semua kaget!” cerita seorang saksi mata.
Anapala: Bad Boy dengan Jiwa Petualang
Anapala sempat dijuluki “komunitas bad boy” karena anggotanya dikenal nakal namun brillian, si anak bandel, dan Ajib, sang juara panjat dinding, adalah contoh sempurna bagaimana Anapala menjadi wadah bagi mereka yang tidak bisa diam.
“Kami tidak minta izin siapa-siapa. Kalau mau latihan panjat, ya panjat saja tembok belakang sekolah,” kata seorang anggota.
Prestasi pun datang. Ajib memenangkan lomba panjat dinding antar SMA, mengalahkan tim Kalpataru yang dibina Mapala Unhas. Bendera Anapala bahkan pernah berkibar di Gunung Gede, Bogor, dibawa oleh Kak Muhardi, alumni yang sudah kuliah di AKA.
Warisan yang Tak Lekang
Kini, 33 tahun setelah kelahirannya, Anapala masih dikenang bukan hanya sebagai organisasi, tapi sebagai simbol persahabatan, keberanian, dan kecintaan pada alam.
“Kami bukan pendiri, kami hanya penyokong. Yang menggerakkan adalah semangat yang tak bisa diam,” kata Batti Husain dalm wawancara ekslusif di SMAK Makassar.
